Sabtu, 02 Februari 2013

kehendak langit atau konspirasi yahudi ? [sakit gigi]

entah sudah yang keberapa sakit gigi ini,...sudah pengalaman bener sama sakit gigi,.. sewaktu dijakarta selaama satu setengah tahun lampau, tiap tiga bulan sekali sakit gigi hampir pasti datang menghampiri .
kalo kata megi z sakit gigi lebih baik dari sakit hati,... menurut gue salah besar.
karena apa ? karena sakit hari paling ga sampai seminggu ilang,. makan tetap rutin , cuma tidur aja yg ga nyenyak dikit...lah kalo sakit gigi? sakit sih enggak, tapi sakiiit bangeeeeds
Beneran, sakit gigi tuh nggak enak. Nikmat dunia bisa hilang akibat jadi gak bisa makan dengan enak. Mau kanan sakit, pindah kiri juga sakit. Oh nooooo…

gue hanya bisa instropeksi diri, mulai berfikir mungkin ini kehendak langit,..dan meminjam pernyataan partai politk yang sedang bermasalah saat ini bisa jadi ini pasti KOSPIRASI YAHUDI !!! =))
oh yastilah konspirasi Yahudi sebenarnya merupakan kambing hitam dari permasalahan sosial agama yang dicetuskan oleh sekelompok Islam. ini FYI aja ya.

dan untuk merayakan sakit  gigi  gue yang entah keberapa ini, gw mau kasih tulisannya Dostoyevski cerita sakit gigi di "Catatan dari Bawah Tanah", ditulis pada 1864. BACA dan RESAPI !

“HA, ha, ha! nanti kau bahkan akan menemui kenikmatan dalam sakit gigi,” demikian Anda berteriak sambil tertawa.

“Mengapa tidak? Bahkan dalam sakit gigi juga ada kenikmatan,” jawabku. Aku pernah sakit gigi selama sebulan dan aku merasakan kenikmatan itu ada. Dalam hal itu, tentu saja orang tidak membenci dengan diam, tetapi mengerang; cuma erangan itu bukanlah erangan menyenangkan, tapi erangan ganas, dan keganasan itu di sini soal pokok.
Kenikmatan penderita memperoleh bentuknya dalam erangan ini; jika ia tidak menemui kenikmatan dalamnya maka ia tidak akan mengerang. Ini adalah sebuah contoh yang baik, Tuan-tuan, dan kini aku akan menjabarkannya. Erangan ini pertama-tama mengutarakan ketiadaan tujuan rasa sakit Anda, rasa sakit yang begitu menyakiti kesadaranmu; seluruh sistem perundang-undangan alam yang tentu saja Anda ludahi dengan penuh rasa hina, tetapi biar bagaimanapun juga tetap membuat Anda tersiksa, sedangkan dia tidak. Erangan ini mengutarakan kesadaran bahwa Anda tak punya musuh yang harus Anda hukum, tetapi bahwa Anda menderita sakit; kesadaran bahwa kendatipun ada segala macam vagenheim Anda tetap merupakan buak dari gigi Anda; bahwa jika orang menginginkan maka gigi Anda akan berhenti sakit, dan jika orang itu tidak menginginkan maka ia akan tetap sakit selama tiga bulan lagi; dan akhirnya kalau Anda masih saja mengumpat-umpat dan menyatakan keberatan, satu-satunya yang tersisa untuk memuaskan hati Anda ialah menyiksa diri atau meninju dinding dengan tinju sekuat mungkin, lain tidak ada. Nah, hinaan-hinaan yang parah ini, sorakan-sorakan seseorang yang tidak dikenal ini, akhirnya akan berakhir pada suatu kenikmatan yang kadang-kadang bisa mencapai kelezatan tingkat tertinggi.
Aku minta kalian, Tuan-tuan, untuk sekali-sekali mendengarkan erangan seorang lelaki terpelajar abad kesembilan belas yang lagi menderita sakit gigi, pada hari erangan kedua atau ketiga, tatkala ia mulai mengerang, beda dengan erangan hari pertama, artinya, bukan sekadar karena ia sakit gigi, tidak sebagai petani sembarangan, tetapi sebagai seseorang yang dipengaruhi oleh kemajuan dan peradaban Eropa, seseorang yang sudah “terpisah dari bumi dan unsur-unsur nasional,” seperti sering dikatakan orang dewasa ini. Erangannya mulai menjengkelkan, ganas, memuakkan, dan berlangsung terus-menerus berhari-hari dan bermalam-malam. Tentu saja dia juga tahu bahwa erangan ini sama sekali tidak akan membawa kebaikan baginya; ia tahu, lebih dari siapa pun, jua, bahwa ia hanya menyobek-nyobek dan menggoda dirinya sendiri dan orang lain dengan tak berguna; ia tahu bahkan ada penonton di hadapannya dan melihat usaha yang dilakukan itu dan seluruh keluarganya, menyimaknya dengan rasa benci, dan sedikit pun tidak percaya padanya, dan dalam hati mereka mengerti bahwa ia sebetulnya bisa mengerang dengan cara lain, dengan cara yang lebih bersahaja, tanpa getaran-getaran dan bunga-bunga langsat, dan bahwa ia memuaskan hatinya dengan berbuat begitu semata karena kekesalan, karena niat jahat. Nah, justru dalam pengakuan dan kerendahan inilah terkandung nikmat yang paling lezat. Seolah-olah ia mau mengatakan, “Aku menggoda kalian, aku menyiksa hati kalian, aku membuat semua orang di rumah ini tidak bisa tidur.
Nah, bangunlah kalian semua supaya setiap menit kalian dapat merasakan bahwa aku sakit gigi. Kini bagi kalian aku bukan pahlawan, seperti yang kalian lihat sebelum ini sebagai seorang yang menjengkelkan, seorang penipu. Baiklah kalau begitu. Aku puas sekali kalian tahu yang sebenarnya. Buat kalian memang menjengkelkan untuk mendengarkan eranganku yang memuntahkan; baiklah, biarlah menjengkelkan; sebentar lagi kalian akan kuberi sesuatu yang lebih menjengkelkan ….” Apa kalian kini belum juga mengerti, Tuan-tuan? Tidak, rupa-rupanya perkembangan dan kesadaran kita harus tumbuh lebih jauh lagi untuk dapat memahami liku-liku kenikmatan ini. Kalian ketawa? Baik. Olok-olokku, Tuan-tuan, tentu saja konyol, tersentak-sentak, terlalu berkepentingan dan tidak memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Akan tetapi, itu tentu saja karena aku tidak menaruh hormat pada diriku sendiri. Apa seorang yang punya daya penglihatan bisa menaruh hormat pada dirinya sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar